Dr Alpi Sahri yang dihadirkan sebagai ahli di PN Medan.
Alinea - Dua ahli yang dihadirkan termohon praperadilan (prapid), Kapolda Sumut cq Dirreskrimum Polda Sumut melalui tim kuasa hukumnya dari Bidang Hukum (Bidkum) Polda Sumut dimotori Salpatore S, Jumat (15/8/2025) di Cakra VI PN Medan ‘meremukkan’ dalil pemohon prapid, Roland.
Yakni ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Dr Alpi Sahri dan Syarifuddin, ahli dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (P3AKB) Provinsi Sumut.
Menurut Alpi Sahri, PKDRT merupakan lex specialis derogat legi generali. Asas hukum yang menyatakan bahwa peraturan khusus (lex specialis) mengesampingkan peraturan umum (lex generalis).
Peristiwa tindak pidana dalam lingkup rumah tangga, sambungnya, memang agak sulit menghadirkan saksi lain di luar saksi korban.
“Walau demikian, sekali pun hanya saksi korban dan didukung bukti surat, ditemukan persesuaian adanya pertiwa tindak pidana, sudah cukup bagi penyidik menjadikan seseorang tersangka perkara PKDRT.,” tegasnya.
Di bagian lain Tumbur dan Effendi Barus selaku tim kuasa hukum pemohon prapid mempertanyakan tentang bukti surat berupa rekam medis atau resume medis dari rumah sakit, layaknya seseorang berobat. Bukan visum dari dokter forensik sebagai petunjuk adanya akibat kekerasan fisik.
Ahli hukum pidana itu pun menjawabnya dengan contoh kasus. “Kalau misalnya ada peristiwa pembunuhan. Jenazah korban ditenggelamkan ke laut atau dimutilasi kemudian dibuang.
Tidak ada visum dari dokter forensik. Apakah dengan demikian lantas kasusnya dihentikan begitu saja?” urainya.
Artinya, dalam perkara PKDRT yang dilihat bukanlah kuantitasnya. Melainkan kualitasnya. Walau hanya saksi korban dan rekam medis, bila bersesuaian, maka bisa diproses lebih lanjut agar peristiwa tindak pidananya menjadi terang benderang.
Pendapat serupa juga dikemukakan Syarifuddin, ahli dari Dinas P3AKB Provinsi Sumut. Di mana perkara PKDRT adalah lex specialis yang bisa mengesampingkan peraturan umum.
“Kalau saya bisa balik bertanya, mana lebih tinggi, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang bukti permulaan tindak pidana atau Undang-Undang PKDRT?” timpal ahli. Sebagai pengendali sidang, Happy Efrata Tarigan pun ‘mendinginkan’ kembali suasana jalannya persidangan.
Ahli menambahkan, di dalam Pasal 55 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PDKRT jelas disebutkan bahwa saksi dimaksud adalah saksi korban plus alat bukti lainnya. Semestinya tim kuasa hukum pemohon tidak memafsirkan frasa saksi, sebagaimana lazimnya perkara lex generalis.
Sementara sebelumnya Dr Edi Yunara, ahli hukum pidana dari pemohon prapid berpendapat, satu saksi bukanlah saksi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 185 Ayat (2) hukum acara pidana (KUHAP).
“Dalam kasus-kasus tertentu misalnya yang mengetahui adanya peristiwa tindak pidana adalah keluarga yang bisa dijadikan mendukung keterangan saksi korban. Lebih kuat saksi yang melihat,” urainya.
Selain itu, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka juga didukung dengan adanya pendapat ahli, surat, petunjuk dan keteragan terdakwa. Kalau misalnya menimbulkan perubahan pada tubuh korban, dikuatkan dengan hasil visum. Bukan rekam medis dari rumah sakit.
Demo Tunggal
Diberitakan sebelumnya, Sherly, Jumat lalu (1/8/2025) melakukan demonstrasi tunggal di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) Jalan AH Nasution Medan.
Setahun lebih korban kasus dugaan KDRT itu berjibaku agar kasus menimpa dirinya mendapatkan kepastian hukum dengan terlapor Roland, 37, warga Perumahan Cemara Asri, Medan, tidak lain adalah suaminya.
“Kejadiannya (kekerasan) di dalam rumah, Jumat (5/4/2024). Yang ada Saya, suami dan dua anak yang masih kecil. Visum ada. Tapi oleh jaksanya mempertanyakan visumnya masih berlaku atau tidak. Ada apa ini?
Tolong pak Kajati Sumut. Awasi jaksanya jangan sampai ‘main mata’ dengan pelaku pak,” pekik Sherly sembari mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya. (Abi)